Sabtu, 17 November 2012

Aku tak Malu Ibuku Seorang Penjual Madu


  True Story            
 06 Oktober 2009 jam 18:04

Bunda menelponku, beliau menelpon anaknya untuk menyapa dan memberi tahuku bahwa Ia akan ke kota untuk menemui Bibiku, yang adalah saudara tertua Ibuku. Dari seberang sana, kampungku yang berjarak sekitar 200 km dari rantau kota kecilku saat ini, kudengar suara bersahajanya yang selalu aku rindu disetiap saat, setiap hari, usai kupanjatkan doa buatnya di sujud terakhirku , di shalat magrib ku.

Nak, bagaimana kabarmu. Saya akan menemui Puang Ros mu di Palattae”, ujar Bunda di balik telepon selularnya yang seharga tiga ratus ribu itu, beliau beli bulan lalu dari gaji pensiun jandanya. Saya hanya membalas singkat dan mengatakan kabarku, cukup dengan mengucapkan hamdalah, pertanda kabarku baik dan tak perlu dikhawatirkan oleh beliau.

saya mau membawakan madu buat Puang Ros mu, sekarang musim madu, saya membelinya seharga Rp. 40.000 per botol dan rencana akan kujual Rp. 50.000” ujarnya menambahkan. Aku mendengar saja penjelasannya yang begitu bersemangat, dan sesekali kutimpali dengan perbincangan-perbincangan ringan.

Dalam hatiku ada sesuatu yang miris, sedih tetapi sangat bangga. Bunda yang kini sudah janda dan cukup tua, memiliki tiga putra yang sudah mampu membantunya setiap saat beliau memintanya, memiliki gaji pensiun janda dari almarhum Ayahku yang cukup buat dirinya sendiri, bahkan Beliau telah melahirkan diriku yang sekarang digaji oleh Negara setara eselon II sebagai pejabat Negara kontrakan (baca adhock), Kakakku yang tertua adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat dan adikku adalah pedagang hasil bumi yang terbilang sukses di kampung. Belum lagi menantunya adalah Kepala Desa, yang tentu adalah number one di desaku.

Beliau tetap saja seperti dulu. Tetap mandiri dan tidak ingin bergantung kepada siapapun, termasuk kepada anak kandung yang telah ia besarkan dengan susah payah dengan kondisinya saat itu yang sangat tidak cukup. Kini setelah anak-anaknya berkecukupan, tetap saja beliau tidak pernah berhenti berjuang. Saat musim madu tiba seperti di kemarau saat ini, beliau mengumpulkan madu dari para petani untuk dijualnya. Ketika musim panen, aku dan saudaraku yang lain tak mampu menghalanginya ketika beliau turun ke sawahnya tetangga untuk turut memanen dengan harapan mendapat upah yang tak seberapa, saat masa bertanam tiba, itiknya sudah bertelur banyak dan beliau menjualnya di pasar. Demikian pula beliau tidak pernah berhenti pada saat hari pasar untuk menjual gula merahnya di desa tetangga. Beliau berjalan kaki usai menjalankan shalat subuh sejauh 4 kilometer dari desaku.

Ummi, ini untuk siapa. Mintalah kepada kami kalo Ummi membutuhkan uang belanja” kataku suatu ketika. Air mataku berlinang saat itu, ketika kulihat bundaku pulang dari pasar dengan peluh yang mengucur dari rambutnya yang sudah mulai beruban. Sama sekali tak kulihat wajah lelah di mukanya. Beliau hanya tersenyum kemudian menjawab dengan sederhana.

Saya senang kalau ada yang saya kerja, walau untungnya tipis saya bisa membeli barang yang saya butuhkan”.

Kalau anakku mau memberiku uang saya pun bahagia, karena itu berbeda dengan untungku menjual gula merah dan madu

Sungguh, akupun tidak tahu itu semua untuk siapa. Beliau tidak ingin dilarang, Ummi panggilanku kepadanya, pernah mengatakan bahwa aktifitasnya kini tak lebih sebagai hiburan, karena katanya kami semua anak-anaknya sudah mampu dan tak lagi perlu beliau biayai. Dulu beliau berdagang untuk sekolah kami, untuk dapur yang harus selalu mengepul dan untuk harga diri bahwa meminta itu adalah mentalitas pengemis yang memalukan.

Sedapatnya kalian memberi jikalau nanti sudah mampu berusaha, sangat memalukan orang yang meminta-minta pada orang lain. Biarpun itu adalah keluarganya sendiri. Belum lagi jikalau harus berutang. Memalukan !” Itu kata pamungkasnya setiap saat beliau menasehati kami yang goblok ini tentang keharusan berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Ternyata kini, prinsipnya tentang berdiri di atas kaki sendiri masih beliau pegang teguh. Bukan beliau tidak berharap bantuan dari anak-anaknya, beliau bahkan sangat bahagia ketika sebahagian gaji pertamaku kuserahkan padanya. Ketika kuberikan saat itu, beliau hanya tersenyum kemudian diam. Aku tahu ada yang ingin diungkapkan, tapi Emmi tak mampu. Beliau kemudian masuk kamar, sejenak kemudian beliau keluar dan nampak betul Emmi barusan menyeka air matanya. Air mata haru bahagia, anaknya kini sudah mampu memberinya uang setelah hampir lebih dari 20 tahun Ia membiayainya dari gaji PNS ayahku dan tambahan laba jualan darinya.

Bunda, sungguh mulia hatimu. Wajar jikalau setiap hari kami anak-anakmu merindukanmu. Tulus Do’a mu, dan ikhlas ikhtiarmu kini menjadikan kami sesuatu yang mungkin diharapkan oleh banyak Ibu sepertimu. Engkau tidak pernah menampakkan kebanggaan kasat mata terhadap kami, Bundapun hanya meminta jikalau untuk sekolahnya si Bungsu di SLTA yang sangat nakal itu membutuhkan tambahan biaya. Hidup sederhana dan bekerja keras, ternyata masih Bunda tampakkan. Bahkan ketika saat ini harusnya beliau tak bekerja lagi. Ada makna yang tersirat bagi kami, bahwa Bunda kami yang sangat bersahaja ini, tak ingin menyia-nyiakan waktunya sedetikpun tanpa sesuatu yang bermanfaat. Beliau ingin mengajarkan, bahwa usia bukan alasan untuk berhenti karena kematian adalah penutup segalanya.

Walau Engkau pernah mengajarkan bahwa janganlah meminta kepada Allah agar umurmu di perpanjang, karena itu berarti kau tidak bersyukur dan takut mati, saya ingin mengabaikan nasehatmu ini Bunda. Aku sangat ingin melihat bunda Hidup terus sepanjang diri ini masih dikaruniai nafas oleh Sang Khalik. Yang Allah, panjangkan umur Ibu ku yang mencintaiku dan memberi tanpa berharap terbalas, kasihani beliau, curahkan lah rahmatmu agar surga di telapak kakinya untuk kami anak-anaknya beliau dapatkan ketika ia menghadap di keharibaan Mu.

Ummi, aku pesan 10 botol madu dan 30 biji gula merah, datanglah ke rumahku, ongkos transport saya tanggung, termasuk biaya pembuatan gigi palsu ta. he…he….” Aku menutup pembicaraan dengan salam, setelah sebelumnya aku memintanya menjaga kesehatan. Aku berpikir setelah nya, untuk apa madu dan gula merah sebanyak itu, akh yang penting aku berusaha menyenangkannya.

Sudah mi Pale dih Nak, walaikum musalam…….”. tinggallah saya merenung di kantorku, setelah berbincang sejenak dengan beliau siang itu. Ya Allah, berilah semua anak di dunia ini seperti kesejahaan, cinta dan kemadirian yang dimiliki Ibuku. Jadikan mereka berbangga dengan ibu yang membaluti kesehariannya dengan cinta tak berbatas terhadap anak-anak yang dilahirkannya. Hukumlah mereka yang tak menghargai Ibunya. Hukuman yang sekeras-kerasnya. Ibu, tak ada bahasa yang mampu mewakili rasa hormat dan cintaku buatmu.

Bantaeng, 5 Oktober 2008